Ketika kita mendengar berita tentang seseorang yang menista Al Qur’an, seketika itu pula hati kita langsung marah dan tidak terima. Hati geram dan serasa ingin memberontak karena kitab yang kita jadikan sebagai pedoman hidup dinistakan oleh orang lain. Bahkan beberapa di antara kita mulai bergerak untuk melakukan aksi pembelaan terhadap Al Qur’an.
Benar, bahwa Al Qur’an perlu untuk dibela. Karena ketika kita menjadi pembela Al Qur’an, maka kelak Al Qur’an akan membela kita di hari kiamat kelak. Sebagaimana yang kita ketahui juga bahwa Al Qur’an akan menjadi pemberi syafa’at bagi para pembacanya.
Akan tetapi, terkadang kemarahan dan rasa sakit hati menjadikan kita lupa terhadap diri kita sendiri. Kemarahan yang diluapkan dengan cara yang tidak benar menyebabkan kita lupa untuk mengoreksi diri, di mana sebenarnya posisi kita. Apakah kita benar-benar berada pada posisi pembela Al Qur’an?, atau justru sebaliknya, kita malah berada pada posisi orang-orang yang menistakan Al Qur’an.
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam mengadukan ummatnya
Mari kita sejenak merenungi firman Allah Ta’ala, yaitu tatkala Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam mengeluhkan ummatnya kepada Allah Ta’ala, yang tercantum indah dalam Al Qur’an surah Al Furqan ayat 30, yang artinya:
“Berkatalah Rasul, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sebagai suatu yang diabaikan.” (Q.S. Al Furqan : 30).
Di dalam ayat tersebut, terdapat kata “mahjuuran” yang diartikan sebagai sesuatu yang diabaikan.
Menurut Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy, “mahjuuran” artinya adalah “sesuatu yang ditinggalkan dan sesuatu yang tidak diberikan perhatian terhadapnya.” (Aisarut Tafaasir, 2/1223).
Sedangkan menurut Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah, kata “mahjuuran” memiliki beberapa pengertian (Tafsir Ibnu Katsir, 6/98-99), yaitu:
- Orang-orang musyrik yang tidak mau mendengarkan Al Qur’an tatkala dibacakan kepada mereka, mereka mengabaikannya dengan cara memperbanyak omongan dan ucapan lain yang tidak bermanfaat seperti syair, ucapan-ucapan yang tidak bermutu, lagu-lagu, nyanyian, atau segala macam cara lainnya untuk menutupi telinga mereka dari Al Qur’an.
- Mendustakan isi kandungan Al Qur’an.
- Enggan merenungi dan memahami kandungan Al Qur’an.
- Sikap tidak mau menjalankan perintah dan meninggalkan larangan yang terdapat di dalam Al Qur’an.
Berdasarkan penjelasan tersebut, ayat 30 dari surah Al Furqan menjelaskan tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengadu kepada Allah Ta’ala bahwa ummatnya telah menjadikan Al Qur’an sebagai sesuatu yang ditinggalkan dan tidak diberikan perhatian, tidak direnungi dan tidak diamalkan, bahkan tidak didengar dan tidak pula dibaca. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an).” (Q.S. Al Ankabut : 45).
Berpaling dari Al Qur’an merupakan dosa besar
Berpaling dari Al Qur’an merupakan dosa besar, karena Al Qur’an diturunkan oleh Allah Ta’ala sebagai pedoman hidup bagi seluruh makhluk. Dan merupakan kewajiban bagi manusia untuk membacanya, memahaminya, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Allah Ta’ala berfirman mengenai orang-orang yang berpaling dari peringatan-Nya (Al Qur’an) yang artinya :
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang bisa melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”. (Q.S. Thaha : 124-126).
Ayat tersebut mengabarkan kepada kita bahwa pada hakikatnya penyebab utama kehidupan yang sempit adalah diri kita sendiri yang berpaling dari peringatan Allah Ta’ala. Namun seringkali kita tidak menyadarinya sehingga lupa untuk melakukan introspeksi diri, bahkan terkadang menyalahkan orang lain sebagai penyebab terpuruknya kehidupan kita. Padahal, jika kita mau berkaca pada diri sendiri, maka kita akan mendapati diri kita sudah terlalu jauh dari Al Qur’an. Boleh jadi Al Qur’an yang seharusnya menjadi pedoman hidup bagi kita, yang harusnya senantiasa kita baca untuk mendapatkan jawaban dari setiap permasalahan hidup kita, justru menjadi pajangan yang kokoh di lemari, hingga tertutup debu yang tebal karena sangat jarang kita baca.
Pernahkan kita memandang bagaimana kita menjalani hari demi hari yang sudah berlalu? Apakah Al Qur’an menjadi sahabat yang selalu menemani kita tatkala kita sedih dan galau, atau justru gadget yang lebih kita pilih untuk mendengarkan berbagai curahan hati kita? Apakah lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an lebih sering kita dengarkan, atau justru lantunan musik dan nyanyian yang menemani waktu-waktu luang kita?
Jika ternyata Al Qur’an masih jauh dari keseharian kita, maka sadarilah bahwa itulah yang menjadi penyebab kenapa kehidupan kita masih sempit.
Aku dilupakan karena aku melupakan
Dalam kehidupan ini, waktu yang kita miliki merupakan taruhan yang sangat besar, apakah akan kita gunakan untuk sesuatu yang bermanfaat atau justru kita gunakan untuk sesuatu yang sia-sia atau bahkan kemaksiatan. Tidak ada pertengahan dalam menggunakan waktu, tidak ada netral. Karena waktu hanya akan habis oleh dua kegiatan, yaitu kegiatan yang bermanfaat dan kegiatan yang tidak bermanfaat.
Adapun berdiam diri tanpa melakukan apapun merupakan kegiatan yang sia-sia sehingga termasuk dalam kegiatan yang tidak bermanfaat dan merupakan keburukan. Dan barangsiapa yang disibukkan dengan kegiatan yang tidak bermanfaat maka dia akan dilalaikan dari kegiatan yang bermanfaat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim Al Jauziyah rahimahullah yang artinya :
“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang bathil.” (Al Jawabul Kaafi/156).
Selama ini, mungkin kita jauh dari Al Qur’an, mungkin kita jarang bahkan tidak pernah membaca Al Qur’an, mungkin kita tidak menghafalkan Al Qur’an, apalagi memahaminya dan mengamalkannya dengan baik.
Mengapa demikian? Apakah kita dengan sengaja meninggalkan Al Qur’an? Apakah kita benar-benar berlari dan menjauh dari Al Qur’an? Tentu saja tidak. Kerena setiap orang yang beriman pasti meyakini bahwa Al Qur’an adalah pedoman hidup bagi manusia sehingga tidak mungkin sengaja untuk menjauhinya. Lalu, kenapa jarak antara kita dengan Al Qur’an semakin hari justru semakin jauh?
Mari kita berkaca pada diri kita sendiri. Mungkin kita tidak dengan sengaja meninggalkan Al Qur’an… Tapi kita dengan sengaja memprioritaskan selain Al Qur’an untuk menemani keseharian kita… Media sosial lebih menarik bagi kita dibandingkan dengan Al Qur’an. Jalan-jalan dan kumpul-kumpul dengan teman lebih kita sukai dibandingkan dengan berduaan dengan Al Qur’an. Dan gadget lebih nyaman untuk kita genggam daripada sentuhan lembut mushaf Al Qur’an.
Benarlah apa yang difirmankan Allah pada ayat yang telah kami sebutkan tadi, yang artinya :
“Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan” (Q.S. Thaha : 126).
Sesungguhnya, bukanlah Al Qur’an yang meninggalkan kita, akan tetapi karena kita meninggalkan Al Qur’an dengan mengutamakan hal selain Al Qu’an, sehingga Al Qur’an pun meninggalkan kita. Bukan karena kita sengaja menjauhi kebaikan, akan tetapi karena kita terlalu sibuk dengan perkara yang buruk dan tidak bermanfaat, maka hati kita pun menjadi berat untuk melakukan kebaikan.
Al Qur’an mengandung banyak kebaikan
Padahal, Al Qur’an mengandung kebaikan yang tak terhingga banyaknya. Bagi para pembacanya, pasti akan mendapatkan kebaikan. Baik bagi yang dapat membaca dengan lancar maupun terbata-bata. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibunda ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya :
“Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala.” (H.R. Muslim).
Padahal, Al Qur’an akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi para pembacanya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:
“Bacalah Al Quran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya” (H.R. Muslim).
Saatnya memperbaiki diri
Saat ini, sang penista telah dihukum, kekesalan dan kesedihan hati pun telah terobati. Sekarang saatnya bagi kita untuk muhasabah diri, di manakah posisi kita sebenarnya? Apakah kita termasuk penista Al Qur’an yang diadukan oleh Nabi karena telah menjadikan Al Qur’an sebagai sesuatu yang ditinggalkan dan tidak diberikan perhatian, tidak direnungi dan tidak diamalkan, bahkan tidak didengar dan tidak pula dibaca? Sungguh, kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari yang demikian itu. Ataukah kita sudah bisa bersikap kepadanya dengan semestinya?
Oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk membenahi diri. Kembali kepada fitrah orang beriman yang senantiasa mengisi waktunya dengan kebaikan, sehingga kita dapat luput dari hal-hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Dan selanjutnya, semoga Allah menjaga hati kita agar tetap istiqamah di jalan kebaikan hingga ajal menjemput kita. Aamiin.
Penulis : Romansyah Makalalag (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ustadz Abu Salman, B.I.S.